Ini Penjelasan di Bulan Muharram (Suro) tak terdapat hajatan

Mengapa di bulan Suro terdapat tradisi untuk tidak melaksanakan hajatan? Masyarakat modern yang memiliki rasionalitas lebih tinggi, menganggap tradisi larangan hajatan di bulon Suro sebagai sebuah tahayul. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai suatu yang negatif. Bahkan beberapa orang menilai hal itu sebagai bentuk kemusyrikan yang sangat bertentangan dengan Islam.

Tradisi ini begitu melekat dengan orang Jawa secara turun-temurun. Para sesepuh melarang anak-anaknya agar tak melaksanakan hajatan di bulan Suro (Muharram). 
Ternyata, larangan melaksanakan hajatan di bulan Suro ternyata berkaitan erat dengan sejarah Islam. Sejarah berawal dari perluasan dakwah Islam hingga ke negeri Persia yang dilakukan oleh salah satu Khulafauursyidin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. 
  
Usaha dakwah Islam Ali bin Abi Thalib membuahkan hasil. Raja Persia yang saat itu memeluk kepercayaan Majusi (menyembah api), berhasil diajak masuk Islam. Kemudian,  hubungan Islam dengan kerajaan Persia semakin erat pasca pernikahan putra Ali bin Abi Thalib,  Husein (Cucu Rasulullah) dan Putri Raja Persia saat itu.




Tak lama kemudian, Husein terbunuh pada bulan Asyyura (Suro)/Muharram tahun 61 H/680 Masehi. Sejak saat itu, umat Islam mengenang bulan Asyyura/Muharram sebagai bulan berduka. 
    
Sejarah tentang kematian cucu kesayangan Rasulullah Muhammad SAW terbawa hingga ke Islam di pulau Jawa. Sejak saat itu, muncullah tradisi himbauan untuk tidak melaksanakan hajatan di bulan Suro, karena bulan tersebut merupakan bulan berduka.

Tradisi ini ternyata berkaitan erat dengan sejarah Islam. Perlu saya tekankan, bahwa tulisan ini tidak menguatkan larangan memiliki hajat di bulan Muharram. Islam sudah sempurna menjelang Rasulullah wafat yang dibuktikan dengan turunnya Q.S. Al Maidah:3. 

Semua waktu (hari) itu baik.  Artikel ini hanya sekadar menginformasikan kepada masyarakat, agar menghargai perbedaan. Perbedaan antara yang masih mempercayai tradisi dan yang tidak. 

Materi ini dapat kita sisipkan saat menyampaikan materi kebudayaan bidang studi Geografi kelas XI SMA/MA. Tak hanya meluruskan anggapan, tetapi juga meningkatkan kompetensi spiritual sekaligus toleransi (kompetensi sosial) peserta didik sesuai tuntutan kurikulum 2013. 

Rujukan:

Muwafiq, Ahmad.  “Pengajian KH. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) - Harlah NU 97 di UNU                 Yogyakarta 5/03/2020”, Youtube, diunggah oleh Mas Fadhil Channel Maret 2020.          https://youtu.be/HgsDvfFzs80.

gambar:pixabay


Comments